Dalam UU ITE terdapat pada pasal 27. Pasal tersebut mengatur soal perbuatan yang dilarang, seperti kesusilaan (ayat1), perjudian (ayat2), penghinaan dan pencemaran nama baik (ayat3), serta pemerasan dan pengancaman (ayat4). Sementara, di sisi lain Indonesia juga punya UU Pornografi yang mengatur tentang kesusilaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik. Jadi, masalah pornografi dan pencemaran nama baik tidak perlu diatur lagi dalam UU ITE, karena UU dunia nyatanya sudah ada, UU ITE cukup mengatur pembuktian saja.
Pembuktian untuk tindak kejahatan di dunia maya dengan hukum eksisting di dunia nyata sudah terakomodir dalam UU ITE pasal 17 tentang transaksi elektronik, pasal 42 tentang penyidikan, dan pasal 44 tentang alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketiga pasal itu sudah cukup untuk membawa UU di dunia nyata ke ranah cybe. Jika pasal 27 dalam UU ITE tidak dieliminir, ketentuan pidana yang berlaku bisa tidak sewajarnya karena ada dua UU yang diterapkan.
Dalam pasal 45 UU ITE, ketentuan pidana akibat pelanggaran pasal 27 antara lain pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Menurut, Menkominfo Mohammad Nuh menilai jika ada pihak yang menolak diberlakukannya UU ITE, khususnya pasal 27, itu sama saja dengan membiarkan kejahatan di dunia maya.
Indonesia masih mengandalkan KUHP dan UU Telekomunikas untuk menangani masalah cyber crime ini. Sedangkan di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah memiliki cyber law. Perlu tidaknya Indonesia memiliki cyber law masih menuai kontroversi. Ada pihak-pihak yang menginginkan Indonesia memilik cyber law dan ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa KUHP dan UU Telekomunikasi masih bisa menangani masalah cyber crime ini.
Tetapi sejalan dengan perkembangan, telah dibuat Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) oleh Direktorat Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika. Di RUU tersebut cyber case dikaji dalam beberapa sudut pandang secara komprehensif dan spesifik, fokusnya adalah semua aktivitas yang dilakukan dalam dunia cyber untuk kemudian ditentukan mana pendekatan yang paling cocok untuk penegakan hukum cyber di Indonesia.
Pembuktian untuk tindak kejahatan di dunia maya dengan hukum eksisting di dunia nyata sudah terakomodir dalam UU ITE pasal 17 tentang transaksi elektronik, pasal 42 tentang penyidikan, dan pasal 44 tentang alat bukti penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketiga pasal itu sudah cukup untuk membawa UU di dunia nyata ke ranah cybe. Jika pasal 27 dalam UU ITE tidak dieliminir, ketentuan pidana yang berlaku bisa tidak sewajarnya karena ada dua UU yang diterapkan.
Dalam pasal 45 UU ITE, ketentuan pidana akibat pelanggaran pasal 27 antara lain pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Menurut, Menkominfo Mohammad Nuh menilai jika ada pihak yang menolak diberlakukannya UU ITE, khususnya pasal 27, itu sama saja dengan membiarkan kejahatan di dunia maya.
Indonesia masih mengandalkan KUHP dan UU Telekomunikas untuk menangani masalah cyber crime ini. Sedangkan di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia sudah memiliki cyber law. Perlu tidaknya Indonesia memiliki cyber law masih menuai kontroversi. Ada pihak-pihak yang menginginkan Indonesia memilik cyber law dan ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa KUHP dan UU Telekomunikasi masih bisa menangani masalah cyber crime ini.
Tetapi sejalan dengan perkembangan, telah dibuat Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) oleh Direktorat Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika. Di RUU tersebut cyber case dikaji dalam beberapa sudut pandang secara komprehensif dan spesifik, fokusnya adalah semua aktivitas yang dilakukan dalam dunia cyber untuk kemudian ditentukan mana pendekatan yang paling cocok untuk penegakan hukum cyber di Indonesia.